Pada masa kampanye pilpres seperti sekarang, terkadang kita dibuat sangsi akan janji-janji politikus itu. Berbagai program dan gagasan ditebar untuk meyakinkan kita betapa bagusnya, betapa hebatnya mereka. Jualan yang paling laris pada pilpres kali ini adalah pro rakyat vs neo lib. Semua pasangan capres mengklaim sebagai pembela rakyat, berjanji membesarkan ekonomi kerakyatan (tentu saja..ga mungkin menggembar-gemborkan anti rakyat!!) dan anti terhadap neo lib. Kita jadi bertanya-tanya..mengertikah mereka dengan apa yang mereka katakan?
Neoliberalisme, kata para pakar adalah istilah yang diberikan untuk sebuah rekomendasi para pakar ekonomi mengenai arahan agar ekonomi dunia semakin membaik, dari sudut teori ekonomi tidak ada yang salah dari usul-usul mereka. isu neolib yang salah hanyalah jualan dari kaum penentang ideologi liberalisme untuk menentang mereka. Neo lib dipersepsi/ lebih tepat distigmatisasi sebagai aliran pro modal asing, menyerahkan ekuilibrium ekonomi pada kekuatan pasar. Kali ini Boediono yang menjadi sasaran tembak tentang aliran ekonominya ini. Sungguh tidak adil tuduhan ini sebenarnya, kita mencap seseorang neolib atau bukan hanya berdasar jabatan-jabatan yang pernah dipegangnya saja, padahal kita hanya bisa mencap sesuatu berdasarkan pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapatnya saja. Sejatinya dia punya aliran apa, kita serahkan pada budiono untuk klarifikasi.
Adapun ekonomi kerakyatan, tidak ada dalam kamus perekonomian umumnya, tapi idenya cukup menarik yaitu mengembangkan ekonomi dengan mengokohkan ekonomi rakyat bawah, kaum preletar, masyarakat dhuafa. Di Indonesia, usaha kecil menengah hampir berjumlah 99.99% dari keseluruhan usaha yang ada di masyarakat Maka wajar ekonomi yang lebih memihak rakyat mayoritas ini lebih dikedepankan. Almarhum prof Mubyarto, adalah salah satu pendekar yang paling gigih mempromosikan ekonomi kerakyatan. Beliau pernah memboikot sebuah tim di pemerintahan yang terlalu pro pengusaha besar. Idenya kurang lebih adalah pemerintah memberikan topangan yang maksimal berupa kucuran pinjaman dana dan bantuan teknis untuk pengelolaan usaha kecil. Logikanya adalah bahwa kalau masyarakat kebnayakan yang menguasai lini perekonomian maka otomatis akan berdampak pada kemajuan ekonomi negara. Berbeda dengan ide trickle down effect yang mendorong pengusaha-pengusaha besar agar membesarkan bisnisnya, lalu kemakmuran akan menetes ke masyarakat di bawahnya. Masa orba yang menganut ide ini benar-benar melahirkan 'tetesan' saja pada ekonomi kecil.
Rupanya para capres itu sadar betapa masyarakat kebanyakan itulah yang punya kuasa sesungguhnya sekarang. Sungguh penting memfokuskan diri pada masyarakat dengan proporsi terbesar negeri ini, yaitu masyarakat yag berada pada atau di bawah garis kemiskinan besarnya 57% dari mereka. Sudah terlalu jauh masyarakat indonesia kelaparan di lumbung padi nusantara ini, perlu ada usaha yang keras dengan desain ekonomi yang rapi agar kesejahteraan dan kemakmuran merata yang menjadi cita-cita bangsa menjadi wujud adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar