Selasa, 01 Februari 2011

Ada Cengkeraman Raksasa di Natuna



Natuna termasuk bagian terluar wilayah NKRI, seandainya tidak ada potensi besar disana--yakni Cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan mencapai 14.386.470 barel, sedangkan gas bumi 112.356.680 barel--mungkin pulau ini akan terlupakan sebagaimana pulau-pulau terluar lainnya. Kelemahan Wawasan Nusantara kita adalah kelemahan menciptakan infrastruktur dan suprastruktur untuk melindungi kawasan terluar tersebut. Pulau-pulau tersebut rentan direbut dan diakui oleh pihak luar, belum lagi pencurian kekayaan lautnya seperti ikan, pasir, dan mungkin sampai terumbu karangnya.

Natuna menjadi wilayah yang seksi, ladang gas D-Alpha yang terletak 225 km di sebelah utara Pulau Natuna (di ZEEI) dengan total cadangan 222 trillion cubic feet (TCT) dan gas hidrokarbon yang bisa didapat sebesar 46 TCT merupakan salah satu sumber terbesar di Asia, dan kini kontrak pengelolaannya hampir selesai. Menuju kontrak baru, beberapa elemen bangsa termasuk Marwan Batubara --yang mantan anggota DPR itu--menekan Pemerintah agar memberikan kontrak pengelolaan kepada Pertamina, karena Pertamana --sang Power House Indonesia --memiliki tenaga dan kapasitas yang cukup untuk menangani pengelolaan pengeboran migas dan pengelolaannya.

Logikanya cukup beralasan apabila Pemerintah memberikan perlindungan langsung yang menyerahkan pengelolaan kepada putra bangsa, terutama agar aset dan keuntungan pengelolaannya tidak lari kemana-mana. Tapi ternyata tidak sesederhana itu, Di Blok Cepu, pemerintah daerah dan Pertamina yang memiliki saham mayoritas tidak kadung dapat proyek pengelolaan Blok Migas ini. Alih-alih menyerahkan, Pemerintah malah melimpahkan pengelolaan kepada Exxon Group --perusahaan Amerika-- yang diduga didukung penuh kekuatan adi kuasa untuk mendorong agar jatah pengelolaan migas jatuh ke perusahaan swasta asing tersebut. Ironi memang, negeri yang kaya dan seharusnya dapat memakmurkan masyarakat dengan sumber daya alamnya ini malah berada dalam kangkangan kekuasaan adi kuasa yang bernama Amerika. Sebuah kontrak yang menjadi cela pemerintahan SBY. Negeri ini bagai dikapling-kapling oleh penguasa untuk kepentingan perutnya sendiri dan tangan-tangan kekuasaan tuannya.

Melihat preseden tersebut, ada kekhawatiran Natuna juga diperlakukan sama. Liberalisme sungguh menunjukkan belangnya disini. Atas nama perdagangan bebas, akan ada desakan kuat agar melelang tender pengelolaan natuna secara bebas--padahal di belakang meja mereka kong kalikong--mengarahkan tender jatuh ke pihak swasta asing. Pemerintah ini nampaknya sukses jualan negara untuk kepentingan sesaat. Jangan-jangan pemerintah negara ini yang dukungan AS memang benar. Buktinya ....

Perekonimian juga butuh patriotime, kita tidak dapat dengan alasan perdagangan bebas melepaskan aset yang menguasai hajat hidup orang banyak diserahkan kepada pihak yang tidak kepikiran sama sekali untuk membangun negeri kita. Harua ada keberanian untuk melawan oligarkhi kekuasaan, dan membela kepentingan bersama dengan melindungi aset-aset besar negara.

Yang lebih penting, bangsa ini harus belajar untuk mengkapitalisasi sumber daya yang dimiliki dan percaya diri untuk mengelolanya secara mandiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar