Kamis, 07 Juli 2011

Ekonomi Islam, udah nyampe mana?

Istilah ekonomi Islam, politik islam, sosiologi islam dan lain-lain bermula dari terminologi yang dibuat oleh seorang ilmuwan islam Ismail Faruqi yang menghantarkan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Dalam konsepnya, penggalian islamisasi ilmu tidak harus memulai dari nol seperti menggali ekonomi islam dari mulai membedah 5 W + 1H secara Islam. Yang melahirkan definisi dan sebutan berbeda terhadap ilmu ini, contohnya Baqir Sadr lebih memilih nama Iqtishod untuk ilmu ekonomi karena memulai kajian dengan sudut pandang yang sama sekali berbeda. Cara bedah Ismail Faruqi menjanjikan beberapa perbedaan yaitu:
  1. memungkinkan percepatan perkembangan ilmu dan aplikasinya karena tidak harus memulai dari nol dalam kajian. Melanjutkan penggalian yang dilakukan oleh ahli Barat dan Timur menyebabkan ilmuwan Islam mendapatkan jalan pintas, dengan mengacu pada hadits "hikmah itu bagaikan tongkat umat Islam yang hilang", maka kita dianggap paling berhak memanfaatkannya.
  2. aplikasi akan lebih mudah karena dapat mengambil model dari aplikasi ilmu kontemporer yang diberi sedikit modifikasi
Nampaknya inilah yang jadi mainstream dalam pengembangan dan pengkajian ilmu pengetahuan, utamanya ilmu ekonomi.

Kelemahan
Kalau kita renungi dan meihat perkembangan yang terjadi, islamisasi ilmu sosial tidak sesederhana ilmu alam yang menjadikan benda-benda mati sebagai objek. Ilmu sosial berhubungan dengan manusia yang memiliki perangkat akal, cara memandang, cara berfikir yang dipengaruhi oleh ideologi, lingkungan dan pengalaman hidupnya. Maka mengembangkan ilmu ekonomi Islam tidak seperti mengkaji ilmu-ilmu ekonomi dasar Samuelson atau ekonomi klasik lalu menghiasinya dengan terminologi-terminologi Islam. Ini terlalu sederhana. Ilmu ekonomi Islam bukan hanya berurusan dengan mencabut faktor-faktor riba dalam perdagangannya, tapi juga harus mempertimbangan berbagai aspek dalam khazanah ilmu fiqih, aqidah dan akhlak Islam.

Mencampur adukkan sudut pandang akan menyebabkan aplikasi ilmu yang rancu. Bagi anda yang terbiasa mengunakan jasa-jasa Bank konvensional, akan melihat sedikit saja perbedaan dengan praktik bank Islam. Hanya membedakan antara profit sharing dengan bunga, yang kemudian profit sharing dikonversi menjadi sistem prosen. Yang membedakan mungkin hanya akad-akadnya saja.

Sebelum terlanjur jauh, para ilmuwan Islam harus mulai memikirkan pengembangan ilmu dari khazanah fiqih, aqidah dan akhlak Islam sehingga tidak terjadi split personality dalam ilmu Islam. Saya khawatir, jika sistem Faruqi diterapkan mentah-mentah maka Islam sebagai pembeda tidak akan nampak. Yang terjadi adalah pencampur adukkan, yang jelas dilarang dalam Islam untuk mencampur adukkan yang haq dan yang bathil.

Darimana kita memulai?
Dalam hal ilmu ekonomi, (Zaim Saidi lebih suka menyebutnya dengan Iqtishod) saya setuju dengan cara pengembangan yang dilakukan oleh para Murabitun. Dalam Rukun Islam--yang merupakan fundamen ajaran Islam-- masaah yang menyangkut ekonomi secara pokok adalah masalah Zakat. Maka titik tolak yang harus digunakan adalah memulainya dengan cara pandang Zakat seumpama mulai menentukan satuan mata uang apa yang digunakan untuk menentukan nishob dan banyaknya zakat, bagaimana cara bermuamalahnya, bagaimana sistem pengumpulannya dan seterusnya. Titik tolak yang jelas akan menyebabkan kita memiliki arah yang jelas, dan kesesuaian dengan sistem Islam akan terus menerus disesuaikan dan dilakukan.

Bagaimana dengan keterpisahan dengan sistem hegemoni yang sekarang berlangsung yakni sistem kapitalistik modifikasi? Jawabannya adalah harus ada pemisahan --ada semacam inkubasi yang dilakukan oleh sebuah komunitas yang didukung sebuah lembaga politik, lembaga syariah yang komprehensif. Harus ada jama'ah yang merintis penyelenggaraannya. Jika cukup kuat, seharusnya Murabitun bisa mengerjakannya. Tapi Murabitun adalah jama'ah yang sangat kecil. Menunggu-nunggu Hizbut Tahrir mewujudkan impiannya juga--bagi saya--bagai menunggu godot--maaf, itu terjadi karena mereka berharap tegaknya dulu khilafah baru menjalankan syariah dan segala sistemnya. Tapi terserah, siapapun yang mungkin mengerjakannya lebih cepat akan semakin baik. Apakah bisa dirintis oleh AKP di Turki atau Ikhwanul Muslimin yang sudah muncul di beberapa negara?Bisa aja, yang penting adalah keseriusan.

Akan sangat sulit mengembangkan Ilmu Ekonomi (atau ilmu-ilmu lain) yang masih tercampur dengan sistem yang lain. Karena infrastruktur yang kurang, dalam prosesnya, kita kaum muslimin mungkin masih menggunakan fasilitas-fasilitas sistem kapitalistik, demokrasi dan lainsebagainya, tapi lambat laun harus ada migrasi. Sebagaimana para ahli sofware memigrasikan dari sistem yang terbangun oleh basis Windows yang hegemoni ke Linux misalkan. Dengan cara ini, baru kita akan bisa mengevaluasi, sudah sampai manakah ilmu Islam itu sebenarnya. Bukankah sekarang kita masih kesulitan berhitung-hitung tentang progres sistem Islam? Nampaknya, menjamurnya Bank Syariah belum bisa dijadikan parameter mengenai keberislaman, sebagai pit sementara bolehlah, tapi ingat, itu bukan Islam yang sesungguhnya, masih abal-abal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar