Sabtu, 15 Oktober 2011

ekonomi biaya tinggi


Indonesia adalah negara yang sangat besar, dari segi luas dan jumlah penduduk. Secara hitung-hitungan, potensi ekonomi negara ini cukup untuk mensejahterakan seluruh penduduknya. Negara ini sangat kaya jika dikelola dengan baik. Untuk mengambil beberapa contoh, tanahnya yang subur dengan hutannya saja kalau dikelola dengan baik akan memberikan kesejahteraan bagi jutaan masyarakatnya yang agraris. Laut yang luasnya saja bisa mencukupi kebutuhan ikan dunia, sekali lagi jika dikelola dengan baik dan modern, dibuat poerlindungan agar tidak dicuri bangsa lain. Belum dihitung kekayaan tambang yang bisa dipakai sebagai tabungan untuk jangka panjang jika dan hanya jika dikelola dengan bijaksana.

Yang dibutuhkan Indonesia adalah orang yang dapat mengurusnya dengan benar. Berkali-kali presiden berganti hanya memperpanjang cerita kegagalan. Soekarno boleh dikata presiden yang tingkat kegagalannya relatif kecil karena usia negara masih seumur jagung waktu itu. Masih berada pada tahap konsolidasi, trauma peperangan menyebabkan urusan ekonomi belum terlalu jadi perhatian serius. Tapi kehadiran Hatta memberi angin segar pencitraan ekonomi yang bagus, sikapnya yang pro ekonomi rakyat dan koperasi membuat bagus narasi sejarah Indonesia. Cuma ketika mereka 'bercerai' saja tanda-tanda bahwa ada masalah yang terpendam.

Soeharto adalah cerita memalukan, keluarga Cendana yang mengangkangi hutan Indonesia tangannya berlumuran terhadap konversi hutan menjadi lahan sawit. Penggundulan tidak bertanggung jawab luar biasa merubah wajah masa depan Indonesia. Korupsi meraja lela menjadi budaya, ekonomi sangat berbiaya tinggi. Presiden selanjutnya hanyalah kelanjutan cerita kehancuran, tidak tahu malu bahkan aset negara dijual dengan murah ke pihak musuh (baca: tetangga).

Budaya, korupsi telah menjadi mental dan budaya di sebagian besar birokrat. Tidak bisa dipungkiri, karena kalau anda masuk ke wilayah yang berhubungan dengan mereka anda tidak bisa mengatakan bahwa hal tersebut (korupsi) tidak terjadi. APBN, APBD yang sejatinya adalah sumber dana pembangunan tingkat efektivitas untuk memberi efek perubahan tidak sampai 10%. Yaa gitu-gitu aja, projek pembangunan berapapun, urusan potongan dan suapnya sangat panjang. Karena hitung-hitungannya bisnis, maka ujung-ujungnya pelaksanaan proyek yang sangat dibawah standar, pemborosan pembangunan terjadi. Sebagai contoh, untuk sebuah projek pengadaan kecil senilai 25 juta saja (yang bisa penunjukan langsung) -- birokrat sudah meyiapkan CV yang bisa ditunjuk, menyiapkan skema potongan dari mulai kapala SKPD, Pimpro, belum pejabat-pejabat wilayah jika pengadaan untuk keperluan sampai level kecamatan/ kelurahan. Yang asli untuk projek? hitunglah sekitar 70% saja, dipotong keuntungan CV yang megang projek? habis!!!

Projek bernilai besar juga ada cerita korupsi dan pemotongan yang jauh lebih dahsyat. Masih ingat Nazarudin? itu hanya bagian kecil .. cerita nyatanya bahkan lebih dahsyat dari itu. otomatis pembangunan akan jalan di tempat. Masih syukur kalau tidak pembangunan negatif (kemerosotan). Indonesia bangkrut. Inefisiensi luar biasa. Apa solusinya? guntinglah masalah-masalah tersebut. Bersihkan birokrat bermental korup, mungkin 70% diantara semua birokrat, sanggup?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar