Selasa, 20 Juli 2010

Menanggulangi Kemiskinan? Bisnislah!


BPS (Biro Pusat Statistik) melaporkan bahwa angka kemiskinan Indonesia pada tahun 2010 mencapai 13,5 persen, tidak banyak berubah dari tahun sebelumnya yang 'mengukir' angka 14,15 persen atau setara 32,53 juta jiwa.


Sungguhlah ironis negara kita ini, negara yang dalam lagu Rayuan Pulau Kelapa begitu menggoda karena indah dan kayanya, atau dalam lagu Koes Plus, yang ajaib mengandung kekayaan begitu banyak tergolong negara yang sulit keluar dari kemiskinan. Hey lihat lah lihat Mang Edod penjual limun sejak saya SD sampai sekarang bertahan berdagang limun dengan omzet yang luar biasanya tetap saja. Bedanya, kalau dulu waktu SD saya bisa beli limun seplastik sekitar 10 perak sekarang harganya seribu lah, tak lain karena pengaruh inflasi. (itu bukan kata si Emang; mana tahulah Mang Edod dengan istilah inflasi). Pastilah angka kemiskinan sebenarnya lebih banyak dari itu, karena yang disebut orang miskin di Indonesia itu adalah yang penghasilannya kecil banget sehingga tidak cukup untuk makan layak sekeluarga, pendidikan rendah setingkat SD dan rumah yang selalu nyewa/ngontrak atau membangun di tempat liar yang siap gusur. Padahal di negeri ini banyak pula sebangsa lulusan S1 yang masih antri untuk dilantik atau ujian jadi PNS (dan sementara ini mereka nganggur atau bekerja serabutan yang tidak sesuai dengan nurani cita-cita mereka). Sebangsa ini juga banyak yang tergolong bangsa miskin istilah kerennya Fuqoro Masakini. Miskin siih, tapi pendidikannya tinggi.

Pastilah bangsa ini sulit menjadi kaya, kalau masyarakat yang paling diperhatikan kemajuannya adalah masyarakat 'tertentu' yang punya pabrik-pabrik yang sangat diharapkan dapat membuka lowongan pekerjaan untuk kaum buruh dan babu. Pastilah yang kaya di negeri ini adalah orang yang bekerja di bank dan memanfaatkan pengetahuan lebihnya terhadap teknik bunga membunga untuk mendapatkan penghasilan tambahan yang lumayan, atau sebangsa pegawai pajak yang bisa nyambi sebagai 'konsultan' pajak, memberi saran pembayaran pajak yang minim asal ada saldo yang mampir di rekening mereka yang haram, atau jadilah polisi lalu lintas atau polisi yang lalu lalang yang dapat tanbahan income dari hasil palak di pinggir jalan dengan istilah 'sidang di tempat' atau dari jasa menjadi makelar untuk kasus-kasus. Pastilah itu gede duitnya. Atau para rezim politikus yang mati-matian terus menetap dalam jajaran struktur agar tetap punya peluang menjadi anggota dewan--yang nikmat--atau menjadi pejabat publik hasil pilkada. Kalo perlu, tidaklah mengapa loncat-loncat partai demi mempertahankan 'idealisme'.

Hah..tapi sodara-sodara, itu bukan solusi. Semua pekerjaan diatas adalah pekerjaan kepegawaian. Yang nilai tambahnya akan sedikit karena tidak ada hubungannya antara unjuk kerja dengan penghasilan. Bukankah pegawai rajin dibayar tidak lebih besar daripada pegawai malas? lagipula mencari tambahan dengan cara-cara di atas tadi haram adanya. Lalu-lalu? bagaimanakah solusinya?

BISNIS..Bisnislah jawabannya, pekerjaan berdagang adalah pekerjaan yang paling banyak menghasilkan nilai tambah, karena dengan berdagang kita telah melakukan langkah distribusi dan pelipatgandaan nilai barang. Islam mengajarkan bahwa pencarian nafkah harus disertai dengan kejujuran, dengan mengelola sumber daya meningkatkannya, memindahkannya, meng-up gradenya menjadi lebih baik dan bernilai, maka nilainya akan semakin besar. Setiap tambahan nilai itu akan menjadi tsawab.

Bagaimanakah cara Rasulullah dulu menciptakan kemakmuran lahir dan batin? tentu darisana kita dapat mengikuti jejaknya.
PERTAMA, Diciptakanlah SDM-SDM yang mumpuni sesuai fitrahnya. SDM yang mumpuni dalam berbagai sudut pandang, integral, syamil, mutakamil. Ditanamkanlah nilai-nilai tauhid sehingga lahir individu yang seimbang antara iman, takut dan harapnya kepada Allah. Yang berjuang dengan visi yang jelas, menciptakan kebaikan di dunia dan akhirat. Maka setiap elemen, Pemerintah, lembaga pendidikan, keluarga, masyarakat, siapapun harus mengerahkan seluruh energinya pada penyiapan SDM yang mumpuni ini. Apa profesi penduduk Muslim pada saat itu? mereka ada yang menjadi ulama, petani (mungkin juga nelayan), pandai besi, mungkin pegawai tapi yang terbanyak dan menduduki strata paling tinggi adalah para Pedagang. Pedagang ini menjadi penyumbang terbesar dana perjuangan sehingga kemajuan bisa diraih. Mereka bangsa yang dinamis, yang siap mengajarkan kebaikan dan mencegah keburukan-keburukan.

KEDUA, Menciptakan Struktur Pemerintahan yang Melindungi dan Menjamin terlaksananya Hukum dengan Baik. KETIGA, Hubungan Luar Negeri.


Masyarakat Pedagang

Membangun itu memulai dari bawah, dari individu sebagai entitas terkecil. Membangun jiwa kemandirian pada setiap individu secara iqtishod, siyasi dan lain sebagainya akan melahirkan generasi yang siap menjadi pemimpin peradaban. Maka dengan memulai memberikan pendidikan, karakter mandiri, kesempatan berusaha yang maksimal akan melahirkan keluarga-keluarga entrepreuneur yang mandiri, yang tidak mudah tergoyahkan aqidahnya. Keluarga ini adalah keluarga yang memahami syariat dan melaksanakannya dengan konsisten. Bangsa kita harus mereformasi sistem pendidikan, menjadi sebuah sistem yang membina masyarakatnya secara menyeluruh. Yang memiliki karakter Aqidahnya Selamat, Baik Ibadahnya, Kokoh Akhlaknya, Kuat Jasadnya, Mendalam Ilmunya, Memberi manfaat untuk orang lain, Rapi dalam urusannya, menghargai waktu, Memiliki Penghasilan (dan yang terutama dari bisnisnya), dan Tangguh dalam Berusaha. Dari individu-individu yang lengkap seperti ini jangan heran kalau dalam waktu 20 sampai 30 tahun ke depan bangsa kita akan menjadi bangsa yang kuat.
[dago]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar