Sabtu, 19 November 2011

Garis Batas: backpacker dengan nalar

BackPacker Mendalam

Membaca buku Agustinus bagaikan membaca kisah perjalanan yang dihayati secara mendalam. Jika kita membaca buku travel dari backpakeran yang lain terasa ada suasana pop, melakukan perjalanan didominasi oleh mencari kesenangan dan biasanya tempat yang dikunjungi adalah tempat resmi yang direkomendasikan pariwisata. Berbeda dengan kelananya Agus yang melakukan kunjungan sembari mencerna arti perjalanan.

Tema Garis Batas adalah benang merah buku tebal 510 halaman ini. Kalau kita membaca sejarah tentang Uni Sovyet, maka kita akan mendapatkan informasi sebuah negara raksasa 'dingin' yang kejam. Membangun kesuperpoweran dengan tangan besi, wilayahnya begitu tertutup untuk masyarakat luar. Setelah Uni Sovyet bubar dan trepecah-pecah menjadi beberapa negara yang baru, persoalan garis batas tiba-tiba menjadi persoalan yang sangat dshsyat terhadap perikehidupan bangsa Stan yang mendiami wilayah Asia Tengah tersebut. Seakan-akan identitas kebangsaan menjadi sesuatu yang harus dibangun sejak awal, sisa-sisa keadikuasaan Sovyet tiba-tiba sirna.

Dimulai dengan membahas Sungai Ammu Darya yang memisahkan Afghanstan yang tertinggal, alat transportasi keledai melalui tebing yang menakutkan, sementara seberang sungai tergambar suasana jalan yang mulus dan listrik yang benderang. Jarak seratus meteran memiliki arti sebagai pemisah antara selimut debu Afghanistan dengan kemodernan negeri Stan yang baru. Secara jeli Agustinus menggambarkan peranan dan keanehan sekaligus yang diberikan dari penarikan garis batas antar negara.

Di bab pertama, diperkenalkan Tajikistan yang muram, dalam bayangan pembaca Tajikistan adalah sebuah negara dengan dominasi pegunungan yang hanya cocok digunakan untuk menggembalakan ternak, luas negara yang luas dengan penduduk dan wilayah yang bisa ditempati sedikit saja. Sungguh kesepian orang yang 'berjalan-jalan' disana. Tajikistan adalah negara yang kecil, dunia lupa siapa dia. Gaya Uni Sovyet masih tersisa, orang asing yang datang harus dicatat akan tinggal dimana, mau kemana saja, dengan siapa, berapa lama dan untuk tujuan apa. Seakan-akan mereka enggan dikunjungi oleh orang luar. Harga-harga dibedakan atara orang Tajik dengan orang Asing. Dushanbe adalah mutiara yang jadi pusat Tajikistan, dibanding negara Stan lain Tajikistan adalah yang terkecil dan termiskin, Somoni adalah mata uangnya, seperti negaranya, mata uangnya juga lemah.

Agustinus begitu rinci, bagaimana sulitnya melakukan perjalanan di negeri-negeri Asia Tengah ini terekam dengan baik. Mendalamnya Penulis dalam melakukan perjalanan terlihat dari keakrabannya dengan penduduk setempat, memiliki kenalan yang dipertemukan ditengah perjalanan, sehingga dapat menyerap suasana asli negara-negara yang dikunjungi. Kita dapat membedakan bagaimana Tajikistan, Kirgiztan, Kazakhstan, Uzbekistan maupun Turkmenistan.

Kepapaan orang Tajik, kemegahan Kazakhstan sampai utopianya Turkmenistan tersaji dengan baik. Garis batas yang dibuat menyisakan pulau-pulau aneh ditengah daratan. Bagaimana dua desa yang hanya dipisahkan oleh sebuah gang bisa memiliki provider telpon yang berbeda dan untuk berkunjung secara resmi orang harus punya visa!! Membaca buku ini akan membuat pembacanya belajar tentang kearifan lokal dan sedihnya masyarakat yang tercerabut dari akarnya.

Bagaiman mereka yang mengaku beragama Islam tapi tidak mengenal arti tulisan arab Allah atau Muhammad, mereka tidak mengenal sedikitpun tulisan Arab, mereka tidak berpuasa ketika Ramadhan dan tidak dapat terlepas dari vodka bahkan pada waktu Hari Raya! luar biasa.

Atau cerita tentang Turkmenbashi yang menjadikan Ruhnama sebagai kitab suci, proyek menggantikan nama jalan, nama bulan dengan tiba-tiba. Masyarakat tiba-tiba miskin karena terkena proyek negara secara tiba-tiba. Foto Turkmenbashi dimana-mana dan meyakinkan masyarakatnya bahwa merekalah pusat dunia. Pokoknya buku ini adalah a must read book deh. bagus.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar