Sabtu kemarin adalah waktu menjalankan 'program nasional', jatah ngajak anak-anak ke perpusatakaan daerah, anak-anak berpesta pora membaca buku-buku kesukaannya, sementara si Aku (ciee..) tenggelam membaca buku Slim n Bill nya Hernowo. Sebetulnya udah lama membaca sekilas buku ini, tapi baru sekarang --secara kebetulan-- dapat mengunyah lebih serius.
Buku ini tentang bagaimana Pak Bill berdiskusi dengan Bu Slim tentang membangkitkan perpustakaan sekolah, lewat gaya percakapan ini Hernowo menyajikan teorema-teorema pembelajaran dengan mengibaratkan para pakar datang langsung ke acara seminarnya sekolah Pak Bill berbicara langsung tentang kaidah-kaidah serta pentingnya mengunyah buku dengan lebih baik.
Diawali dengan menginformasikan tentang pentingnya aktivitas baca tulis untuk proses pendidikan di sekolah. Begitu intisarinya .. kegiatan baca tulis adalah kegiatan mendasar dalam mengefektifkan pendidikan sekaligus dapat berperan penting dalam kehidupan. Hernowo mengompori pembaca untuk menilai ulang aktivitas interaksi mereka dengan buku, digambarkan bagaimana pentingnya kegiatan menulis sebagai bentuk pengikatan makna, mengukur seberapa jauh pemahaman kita terhadap buku yang kita baca. Sering kita dapati bahwa aktivitas belajar bahasa Indonesia tidak mendekatkan pembaca dengan aktivitas baca tulis, bahkan cenderung menjadi kegiatan literasi tipis-tipis saja.
Salah seorang ahli yang ditampilkan disitu mengatakan bahwa menulis secara bebas memberikan pengaruh yang sangat besar bagi kestabilan psikologis seseorang. Kemudian, membaca buku dapat mempertautkan antara satu bagian pengetahuan dengan bagian pengetahuan yang lainnya, maka utuhlah pemahaman kita tentang ilmu.
Menulis adalah upaya kita mengkonstruksi atau menyusun pemahaman kita atas pelbagai pengetahuan yang terkait dan cocok dengan diri kita sendiri. Satu hal yang masih asing terjadi di sekolah-sekolah kita. Bangku sekolah tidak secara khusus mengajak siswa-siswinya mencintai kegiatan literasi --meminjam istilah Gola Gong-- tanpa kegiatan membaca dan menulis dunia akan terasa hampa. Masih untuk ada sekelompok anak remaja yang menyukai chicklit atau komik, jauh banget deh kalo urusan buku-buku berat. Lebih banyak diantara mereka yang menjadikan kegiatan menulis sebagai barang asing. Makanya kegiatan yang membangkitkan gempa literasi yang dikembangkan Gola Gong perlulah mendapatkan dukungan yang maksimal. (menyimpang dikit ya..).
Hernowo --masih di buku ini-- membawa pesan tentang pentingnya perpustakaan dihadirkan sampai ke pelosok, tetapi dengan catatan bahwa buku-bukunya harus menarik dan kontekstual. Buku yang disajikan di daerah pesisir nampaknya lebih relevan kalau menyajikan lebih banyak buku tentang pengolahan ikan laut, cara menangkap ikan dan konservasi terumbu karang. Menyamaratakan daerah bersama kebutuhannya adalah pemikiran yang naif. Keberadaan perpustakaan di desa sangat penting, selain agar dapat menyerap informasi juga sebagai sarana mengolahragakan otak mereka. Bukankah otak masyarakat perlu diolahragakan agar lebih berotot untuk kritis terhadap kehidupan?
Siapa yang harus diandalkan menjalankan peran menyajikan buku yang menarik dan kontekstual itu? Para Pustakawan tentu saja. Sayangnya para pustakawan tersebut belum menjalankan perannya dengan baik. Mereka belum tentu orang yang doyan membaca buku-buku sehingga sehingga dapat mensarikan dan menginformasikan buku mana saja yang menarik dan kontekstual untuk pengunjungnya.
Yang lebih menarik lagi adalah tentang temuan DR Taufiq Pasiak (masih di buku ini) yang menyatakan bahwa sifat-sifat jelek seperti sombong, iri, dan kikir dapat merusak otak, sama kuatnya dengan keganasan tumor otak. Aktivitas membaca (apalagi menemukan dan mengartikan pengertian kata-kata yang baru) akan menyalakan otak. Luar Biasa!
Buku ini secara keseluruhan dapat menjadi penyala untuk perbaikan proses pendidikan dan produksi masyarakat pembelajar yang lebih baik. Insya Allah. @bangunperadaban
Tidak ada komentar:
Posting Komentar