“Kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh uang. Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang ditentukan oleh diri kita sendiri, oleh hati kita.” Ini pernyataan Yosichi Shimada -- Sang Penulis tentang intisari nilai yang diajarkan Nenek Osano tentang kehidupan. Yosichi yang besar menjadi Komedian yang terkenal di Jepang berbagi cerita tentang pengalaman hidup masa kecilnya yang terdidik dalam kemiskinan yang ceria bersama neneknya di Saga.
Saya mendapatkan buku ini ketika jalan-jalan wisata buku di BBC Cikutra, cara penyusunan displaynya kurang rapi jadinya saya lupa bagaimana menemukan buku ini, tapi kalo orang bilang Don't Judge the Book by It's Cover, maka saya selalu menilai bagus tidaknya buku dari covernya. Buku ini perwajahannya menarik, ini resep saya --ditengah kebiasaan toko buku men-seal rapi sehingga kita tidak bisa membolak-balik dalemannya. Karena perwajahan menarik itulah saya putuskan mengambilnya. Setelah itu baca bagian belakang buku .. menarik maka tambah poinnya..sikaaat. Ternyata kembali terbukti, buku ini bagus serasa membaca Toto Chan-nya Tetsuya Kuronayagi dalam bentuk yang lain.
Dengan latar pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, kita sangat memahami kalau kondisi masyarakat Jepang saat itu berada dalam kondisi miskin. Masyarakat Jepang pada masa itu bangkit dari keterpurukannya, Nenek Osano adalah salah satu saja dari warisan budaya Jepang yang kukuh. Saya yakin banyak pula model seperti ini di jepang, karena ini adalah salah satu karakter unggulnya. Shimada yang secara menggelitik menerangkan secara pintas tentang ketidakjelasan asal usul ayah 'sebenarnya' dibesarkan oleh seorang ibu yang menjadi pelayan di sebuah restoran atau bar. Ibunya menjadi sosok yang tidak banyak diceritakan disini. Shimada didorong ke Saga dengan sebuah konspirasi menyedihkan dari ibu dan bibinya, maka terdamparlah ia di sebuah gubuk usang dipinggan sungai yang masuk wilayah bekas kerajaan Saga. Dari sinilah cerita pengajaran kearifan lokal dari si Nenek dimulai. Diantara pelajaran pentingnya adalah bagaimana keberterimaan terhadap nasib dengan ceria. Kemiskinan kalau dihadapi dengan muram maka akan semakin menyedihkan, tetapi jika kita menghadapinya dengan ceria maka kemiskinan tetaplah menjadi sesuatu yang menceriakan, atau setidaknya tetap ceria walaupun miskin.
Nenek Osano mengatakan: “Ada dua jalan buat orang miskin. Miskin muram dan miskin ceria. Kita ini miskin yang ceria. Selain itu karena bukan baru-baru ini saja menjadi miskin, kita tidak perlu cemas. Tetaplah percaya diri. Keluarga kita memang turun-temurun miskin.” Ini tentang Mindset sobat, bagaimana kita tetap percaya diri dalam kemiskinan? intinya apapun kondisinya kita harus tetap percaya diri karena ini sikap yang akan meringankan segala bentuk penderitaan. Tetap percaya diri saat halangan menghadang akan menyebabkan syaraf kita memiliki daya lentur yang tinggi, melihat semua kondisi dengan siap dan menerima apa adanya. Itu Qona'ah namanya. Tak perlu cemas, ketika harta kita hanyalah termos air panas untuk menghangatkan kaki ketika musim dingin, maka ketika tidur simpanlah termos itu di kaki sehingga akan tetap menghangatkan kaus kaki kita, ketika ada tamu, termos yang tadi kita simpan disebelah kaos kaki kita pakai untuk mincurahkan air suguhan, biarlah tamu nya bergidik, tapi kita kan tulus. Kerja keras adalah bagian yang tidak terpisahkan.
Bahkan ketika perut kita berbunyi mengkeret sebagai tanda kelaparan, Nenek Osano cuma bilang ah itu cuma mimpi, tidur sajalah lagi. Luar Biasa Bukan? Ada belasan episode yang diuraikan, masing-masing memiliki pelajarannya sendiri-sendiri.
Tentang efektif dan efisien, setiap perjalanan pergi dan pulang kerja ada suara kelontang kelenteng dari pinggang nenek yang mengikatkan magnet disitu, untuk apa? mengumpulkan paku dan logam bekas agak tersedot magnet, sekali jalan, dua agenda tertuntaskan. “Sungguh sayang kalau kita sekedar berjalan. Padahal kalau kita berjalan sambil menarik magnet, lihat, begini menguntungkannya, kalau kita jual, sampah logam lumayan tinggi harganya. Benda yang jatuh pun kalau kita sia-siakan, bisa dapat tulah.” (hal 42)
Tentang supermarket buah dan sayur di sungai depan rumah. Dengan hanya memalangkan seutas bambu di sungai, Nenek bisa mendapatkan menu makanan sehat, baik buah atau sayuran yang tidak sengaja tercecer atau yang sudah rusak atau yang bentuknya tidak sempurna. "Bukankah lobak yang bercabang dua, kalo diiris-iris tetaplah lobak? bukankah apel yang kalo kita buang sedikit bagian busuknya akan menjadi buah apel yang tetap lezat?" Inilah pelajaran mengambil berkah makanan yang diajarkan Nenek Osano, bukankah Tuhan akan marah kalau kita sia-siakan makanan? kita tidak pernah tahu, di bagian makanan yang manakah Allah sisakan keberkahannya.
Selain cerita pelajaran dari nenek, ada juga cerita tentang Shimada sendiri yang mempraktekkan pelajaran efektivitas dan efisiensi Nenek, tentang kecanggihannya mencari uang dari bulus yang ditemukan berkat mengais-ngais sungai dengan kakinya, atau cerita mendapatkan logam-logam untuk sekedar mendapatkan gula-gula dan membeli pensil warna?
Tentang kreativitas mencuri mangga bagi cewek gebetannya yang ternyata dialah yang empunya pohon yang sebenarnya. Inti yang saya dapatkan dari membaca buku ini adalah membesarkan rasa syukur dan membuat parameter baru tentang arti kebahagiaan. Bagaimana dengan anda? sudah membaca buku ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar